coba deh baca cerpennya... berasa aneh banget sama kisahnya.. kurang pantas seperti itu.. objeknya sungguh terlalu.. -__-
dakwatuna.com - Di luar kaca auditorium aku
melihatmu sedang ngobrol dengan teman-temanmu. Sangat jelas wajah
putihmu terlihat. Ingin rasanya kubilang aku merindukanmu, tapi kita
sudah ada jarak yang amat jauh, dan mungkin kau juga sudah melupakanku.
Semua orang menuju masjid Jami untuk shalat Zhuhur, kecuali aku, dan
beberapa akhwat lainnya yang tetap tinggal di dalam ruangan, karena
sedang tidak shalat. Aku duduk di depan jendela ruangan terbuka.
Kupasang earphone di telinga, surat ar-rahman mulai kudengar sangat
pelan. Aku kaget saat tak sengaja ku dengar pembicaraan Naila teman
akhwatku dengan sahabatmu Khalid di samping ruang auditorium.
“Masa
sih mas?? Nggak punya kekasih idaman? Bukannya kata orang-orang mas itu
suka sama teman angkatan kita, mantan ketua UG (ummahatul
ghad/keputrian) di MTs dulu, mba Nisa kan? Tanya Naila memasang wajah
serius.
“Hehe, seandainya Ana suka sama dia, anti
nggak usah tahulah Nai…apa hak anti nanya-nanya masalah privasi orang
hayoo??…yang hebat itu, Rafa tuh, dia mah udah yakin jadilah
pokoknya…!!”
Aku mencoba melebarkan telingaku dibalik
earphone, yang mereka tidak akan mengira kalau aku tahu apa yang
dibicarakannya. Tentangmu yang sudah tidak memberi kabar sejak aku masuk
di semester 2 sampai sekarang aku semester 6, dan aku tidak tahu kenapa
kamu begitu.
“Maksudnya?” Naila kembali bertanya.
“Iyah…udah
punya calon!! Anak orang kaya, cantiknya masya Allah Nai…teman
kuliahnya, tapi dikenalin sama Ustadz yang deket sama dia sihh…paling
juga ntar abis kuliah langsung nikah…” jelas Khalid.
Mataku
tiba-tiba gelap dan berair. Seperti terkena petir yang menghentikan
aliran jantung. Pembicaraan mereka seperti setrum yang mematikan aliran
darah. Ada rasa sakit di hati yang mulai berprasangka buruk padamu.
Kecewa dan rasanya ingin marah. Rasanya aku tidak mau meneruskan acara
reuni ini. Aku ingin pulang. Rasa sedih dan kaget ku lebih besar
daripada rasa kangenku untuk bertemu semua teman dan keluarga besar
Ma’had MTs. Tiba-tiba aku merasa tidak ingin bertemu wajahmu. Ada
segores benci yang membalut rapuhnya hati. Setiaku selama 3 tahun silam
tak ada artinya sama sekali ternyata di matamu. Betapa aku menghormati
dan menjaga perasaanku dari selainmu saat aku di perantauan, meskipun
aku dan kamu jauh, suka sama orang lain, rasanya tidak mungkin untuk
kulakukan, aku bukan mereka yang bisa dengan mudahnya berganti hati dan
mengagumi orang berbeda dalam hitungan hari. Meskipun tak pernah
kudapati satu pesan kabar darimu, aku tetap menunggumu dengan husnudzan.
Ekspresi
wajahku telah berubah saat sahabat-sahabatku selesai shalat. “Makan
jama’i telah menanti!! Saatnya makan sahabatku…” kata Rara dan Lintang
sambil duduk di sebelahku. “Seangguk kata iyah kubagi pada 2 sahabat
yang duduk saling berhadapan. Aku makan di luar ruangan, ternyata kamu
juga ada di area yang sama.
Rara bilang kamu
melihatku terus. Dan aku tidak bergeming, tetap ku tundukkan kepalaku
dalam bisu. Tapi rasa ingin marahku semakin besar, aku pun memberanikan
diri untuk melihatmu di arah sana. Ku lihat dengan pandangan yang sangat
tajam. Aku tak punya senyum lagi, yang aku punya sekarang adalah bentuk
wajah yang sangat muram untuk kau lihat. Kau melihatku di saat aku
melihatmu. Beberapa detik aku melihat wajahmu dengan sangat jelas. Ku
palingkan kembali wajahku ke arah manapun yang aku mau. Rasanya aku
sudah tidak bisa lama-lama melihatmu ada di sini. Aku putuskan untuk
pulang lebih awal. Makananku tak ku makan. Aku pamitan sama sahabatku,
aku bilang pada mereka kalau ibuku menyuruhku pulang lebih cepat. Aku
tau, Rara dan Lintang memperhatikan wajahku sejak tadi. Tapi aku tidak
peduli. Yang aku tahu sekarang, aku mau pulang.
Dengan
motor, aku membelah jalanan yang tiba-tiba seolah berkabut. Airmata
menetes sangat banyak. Segala rasa mulai membuncah tak tertahan. Sudah
setengah jam kususuri jalan. Rasanya begitu lama dan membuat perasaanku
menjadi sangat tidak baik-baik saja. Dalam keadaan mengemudi terburukku,
aku hampir menabrak sebuah pohon yang tidak jauh jaraknya dari jalan di
sebelah kanan. Yang lebih membuatku kaget, ternyata aku berhenti karena
sebuah motor dengan kecepatan sangat tinggi telah menghalangi jalan
untuk ku kendarai motorku dengan arah yang bersilangan. Kamu. Kamu turun
dari motor dan berdiri kira-kira jaraknya satu meter dari tempatku. Aku
hanya diam dalam tunduk, seketika Air mataku berhenti dalam waktu
secepat kilat, tanda aku baik-baik saja dan symbol bahwa aku tidak punya
masalah apapun denganmu. Tak kulihat wajahmu walau hanya sekali.
Tak
banyak yang ingin ku katakan. Aku juga tak mau bicara apa-apa lagi
denganmu. Tak berani ku angkat wajahku, aku juga tak punya kepentingan
denganmu. Ku belokkan motorku mencari jalan yang lain, tapi kau
lagi-lagi berdiri tepat di depan motorku. Terpaksa ku parkir motorku di
pinggir jalan dan aku berdiri masih dalam tunduk membiarkanmu berjalan
ke arahku. Melihat sikapku, kamu pun mulai membuka pembicaraan sambil
terus melihat wajahku dari samping.
“Apa kabar?”
Tanyamu memandang wajahku. “Baik”. Tak peduli lagi, mau kamu bilang aku
jutek atau sombong. Apa yang kau lihat inilah aku. Kalau tak suka pergi
saja. Kata-kata ini yang terus membuatku berani menahan airmata di
depanmu.
“Kenapa?” Tanyamu lagi. “Nggak.” Masih dalam aku yang keras.
“Hmmm…Nggak
mungkin nggak kenapa-kenapa…apa harus Ana ambilkan cermin biar anti
tau, seberapa muram wajah anti sekarang???” kamu tersenyum simpul
melihat ekspresiku.
“Za kan udah bilang, nggak
kenapa-kenapa! Antum kenapa ada di sini? Apa ada yang ingin dikatakan?
Kalau ada yang ingin dikatakan, katakan sekarang!! Za ada urusan lain!
terus juga di sini hanya ada kita, Za takut jadi fitnah!” Aku bicara
dengan nada yang membuatmu semakin heran.
“Anti
kenapa sih?? Ana punya salah sama anti? Ana minta maaf kalau Ana membuat
kesalahan.” Dengan cepat ku jawab pertanyaanmu, “nggak ada!”
“Kenapa
dari tadi, anti itu melihat Ana seperti itu? Ana tahu 3 tahun kita
nggak pernah kontekan sama sekali. Di sana Ana sibuk dengan tuntutan
beasiswa, Ana yakin anti juga sibuk dengan tuntutan beasiswa anti. Ana
juga selama 3 tahun itu terus berusaha menshalihkan diri, ingin menjadi
seorang pemuda yang dibanggakan oleh Allah, ingin menjadi seorang pemuda
yang benar-benar pemuda, dibutuhkan banyak orang, tonggak bangsa,
pembela dan penegak agama Allah, Ana nggak mau mengotori hati anti yang
tidak tahu apa-apa. Ini salah Ana. Ana menghindar dari anti? Iyah…Ana
memang menghindar! Tapi bukan berarti Ana benci sama anti. Bukan seperti
itu. Ana juga tidak dengan rela hati ingin melupakan anti! Tapi Ana
ingin Ana menjadi lebih baik dalam aturan yang seharusnya Ana ataupun
anti jalani. Tidak memberimu kabar, bukan berarti Ana tidak pernah
merindukan anti. Ana kangen sama anti. Tapi Ana tahu yang terbaik untuk
anti, yaitu dengan cara tidak menghubungi anti.”
Telingaku
serasa pecah seketika. Dunia menjadi buram di mata hatiku. Aku tidak
bisa untuk menahan tangisku lagi. Aku sakit hati, aku sakit hati
karenamu. Tersedu-sedu aku dibalik kacamata. Aku juga sadar sejak lama,
sebelum kamu berubah, aku juga ingin seperti yang kau bilang, kata-kata
yang sama selalu ku bilang pada Tuhanku setiap sujud panjang kujumpai.
Tak peduli kamu akan menertawakan kesedihanku kini, atau akan bilang aku
wanita cengeng sekalipun. Yang aku tahu aku sakit hati selama 3 tahun
itu.
“Zabia tahu, tau Antum sibuk, Za juga sudah
mengira kalau Antum sekarang sudah berubah untuk menjadi seseorang yang
selalu Antum impikan. Menjadi seorang pemuda seutuhnya. Za tidak pernah
merasa keberatan selama 3 tahun tidak mendapat kabar apapun darimu. Za
juga tidak pernah berharap Antum masih sama seperti yang dulu. Za
mendukung setiap citamu dalam diamku. Za bersyukur pernah mengenalmu,
mengajariku untuk tetap menjadi seorang wanita yang menjaga iffahnya.
Antum tidak usah khawatir, Za tidak pernah punya minat untuk membebani
masa depanmu, Za tidak pernah punya niat untuk menghalangi langkahmu.
Jalan hidupmu sangat luas dan panjang, silakan lakukan apapun yang Antum
mau. Za tidak akan mengikuti jalanmu, jadi tak usah khawatir dengan
keadaanku. Za yang minta maaf, telah membuatmu punya pikiran seperti itu
tentang Za. Za tahu kok, siapa Za, siapa Antum. Za juga ingat betul,
kita tidak pernah punya hubungan apapun. Jadi mau 3 tahun atau 4 atau 10
tahun pun Antum tidak memberi kabar padaku, tak masalah. Za bukan
siapa-siapanya Antum dan sebaliknya. Satu lagi, maaf kalau sikap Za
membuat Antum merasa bersalah tadi. Za harus pergi.” Aku usap air mataku
dengan gerakan tangan yang kasar. Tak berani ku lihat matamu. Ku coba
untuk mengendarai sepeda motorku. Tapi kamu malah memegang stang
motorku.
“Mau ke mana?” katakan anti pernah dengar
sesuatu tentang Ana? Kalau anti mau marah, marah saja sekarang. Mumpung
Ana ada di sini.” suara mu sedikit tinggi.
Kulihat
matamu dengan sangat tajam. Dengan butiran air mata yang semakin deras
menerjang ruang keras hatiku, ku katakana padamu, “Maksudnya apa?”
Harusnya Za yang nanya? Maksud Antum apa? Kalau cuman untuk bercanda,
mending tak usah ngomong apapun ke Za. Za tak punya waktu untuk
bercanda, Za bodoh di pelajaran cinta, Antum juga tahu itu kan! Za
bingung sendiri, padahal Za tidak pernah curang di belakang Antum”
“Maksud anti apa?” tanyamu dengan nada bingung.
“Jangan
pura-pura nggak tahu, Antum sudah menemukan sosok wanita yang
sempurna…begini, begitu dan Za tidak tahu lagi.”
“Siapa?? Siapa yang
bilang Za?”
“Za nggak tahu dan nggak mau tahu.”
“Ana tahu!”.
“Ya sudah
kalau tahu, kenapa masih bicara sama Za, jangan ada di sini lagi! Za mau
Antum pergi, Za sakit hati tau nggak sih! Lama menanti kabar dari Antum
di persimpangan jalan. Bahagia rasanya akan bertemu dengan Antum hari
ini, tapi semua itu masa lalu dan cuman sebuah cerita pena belaka.
Ternyata ku dengar Antum begini dan begini. Terserah Antum. Hidup, hidup
Antum ini kok.”.
“Anti cemburu?”.
“Nggak kok!! Cuman sedih aja dengan
diri sendiri!! Terlalu memakai perasaan. Harusnya udah tahu dari awal
seperti ini. Nggak kenapa-kenapa kok, semuanya kan udah seperti ini. Za…
mendoakan Antum dengannya bahagia. Semoga kalian berjodoh!!” Aku
melebarkan senyum di antara tangisan yang deras padamu.
“Anti nggak
kenapa-napa?”. Ku gelengkan kepalaku. “Ana sama dia, ust Ana yang
jodohin Ana! Tapi Ana belum tahu, masa depan masih panjang, Ana masih
kuliah, masih lama untuk menikah. Jodoh kan siapa yang tahu, mungkin
sama anti mungkin sama dia wallahu’alam…” katamu.
Sekarang
aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah mendengar perkataanmu ini.
“Tidak! Za tidak pernah punya niat untuk memiliki mimpi macam-macam
dengan Antum. Za yakin, kenapa ust Antum memilihkan dia untuk Antum,
karena mungkin dia memang baik untuk Antum. Maaf Za telah berkata banyak
pada Antum tadi. Sampaikan salam untuknya akhii. Pasti dia beruntung
kalau punya suami seperti Antum. Bilang maaf padanya, kalau aku pernah
dekat dengan Antum. Antum dan dia tak usah khawatir! Mulai sekarang,
saat ini juga, Za akan pergi!!!”. Ku pake helmku, ku hapus air mataku,
ku jalankan motorku dengan kecepatan tercepat. Aku tinggalkan kamu
dijalan itu agar kamu tidak sempat bicara apa-apa lagi. Aku bisa membaca
dari raut rupamu, kalau kamu ingin bilang bahwa kamu belum tentu
memilih dia. Tapi aku tidak bisa menerima, jika aku berada di antara dua
pilihan, aku pasti akan memilih untuk mundur. Selama 3 tahun, aku
mengira kalau kau setia dan akan menjaga ucapanmu tentangku. Biarkan
kisah jahiliyah kita menjadi pelajaran hidup bagiku. Kini bumi menjadi
saksi tentang patah hatiku yang sebenarnya sudah lama merindukanmu. Tapi
bumi lebih tahu kalau aku lebih merindukan untuk kembali menjadi aku
yang sebelum mengenalmu. Aku ingin kembali pada Tuhanku, yang selalu
setia dan aku tidak pernah kecewa karena mencintai-Nya.
Ya
Allah…yang maha memiliki bentuk cinta hakiki, aku mencintaimu lebih
dari pada dia dan siapapun. Aku ikhlaskan dia memilih cinta yang lain.
Aku akan sabar menanti siapa calon imamku nanti. Untuk calon imamku,
maaf aku pernah berbuat curang padamu.