dakwatuna.com - “I
was a Christian, now I am a muslim alhamdullilah. I still love Mariam
and Jesus (peace be upon him) but in Islam we believe in all Prophets,
and Muhammad (peace be upon him) was the last Prophet. We pray to only
One God, who create all the mankind and everything. In Arabic we call
Him Allah. Islam is religion of peace and brothershood….” Patty dan Beata punya kemiripan cerita mengenai awal memeluk Islam.
Keduanya
adalah ‘mantan aktivis gereja yang taat’, dan sering kali menemukan
hal-hal yang ‘tidak sesuai’ antara isi al-kitab dengan perbuatan
pimpinan/ tokoh agama mereka. Bedanya yang satu ‘Christian’, yang satu
lagi ‘katolik’.
Hati yang berontak bukanlah berlangsung sehari-dua
hari, melainkan bilangan tahun di usia remaja, saat biasanya disebut
‘sedang focus mencari jati diri’. Patty menanamkan niat dalam dadanya,
“Saya harus bisa menentukan mana agama yang benar, yang ‘fair’, yang
masuk akal, dan ajaran-ajarannya memang jujur, turun langsung dari
Tuhan—yang sebenar-benar Tuhan.”
Beata pun demikian, ia berjumpa
Patty saat sama-sama mencoba menanyakan literature Islam kepada seorang
syekh yang sedang berada di Islamic Centre Warszawa. Beata dan Patty
merasakan hal yang sama, takjub dan terguncang jiwanya, “Bagaikan sedang
berjumpa sesuatu hal terhebat dalam hidup ini….” Ujarnya, di kala
mereka membuka lembaran surat pertama Al-Qur’an, Al-Fatihah.
Saya
takjub pula ketika mereka berkata, “Kan enak ya, dalam Islam… kamu bawa
anak-anak ke masjid, kamu ajak shalat bersama. Kalau di tempat kami
dulu, anak-anak tidak boleh ikut berdoa, terutama anak-anak yang sering
membuat kehebohan. Sewaktu masih kecil, kami sering dijewer gara-gara
berlarian atau rewel di dalam ruang gereja. Harus duduk mantap…Kecuali
kalau acara theatre di sekolah, kelas religia, pokoknya keterlibatan
anak-anak biasanya jika anak sudah bisa duduk manis, mau disuruh duduk
teratur, dan mau disuruh baris sampai bosan…”
“Dalam masjid juga tidak boleh rebut, apalagi kalau sedang shalat….” Ujarku.
“Iya,
tapi beda banget. Dalam Islam, anak-anak dipandang sebagai makhluk
suci, yang sedang harus banyak diajari, diingatkan…. Kalau menurutku,
dalam ajaran agama dahulu, anak-anak dianggap sumber kerepotan dan
sumber masalah di mana-mana…” cemberut sahabatku itu. “Mungkin semua
orang dewasanya lupa kalau mereka juga pernah jadi anak-anak yah?
Hehehehe…” kami jadi cekikikan.
“Yang lebih gak masuk akal lagi,
juga banyak, sist. Sejak kecil, saya diajari dandan, ngecat kuku, ngecat
rambut, dan lain sebagainya. Namun pada saat saya melihat anak-anak
muslim, orang tua mereka malah mengajari wudhu, dan berpenampilan yang
menutup aurat tubuh. Bahan make up sangat berbahaya untuk kulit
kanak-kanak. Waaaah, Saya dulu sering gak mandi lho…. Bangun tidur, cuci
muka, dan pakai make-up, kalau ngebayangin yang dulu-dulu, jorok sekali
deh rasanya, hehehehe…” ujar Patty.
Tetangga mereka mengatakan bahwa kedua sisters
ini sudah masuk sebuah sekte-sekte di pemahaman agama baru. Meskipun
keduanya sering kali menjelaskan bahwa agama Islam adalah agama-Nya,
agama nabi Adam, agama yang paling tua, tetap saja hal itu tak
didengarkan. Doktrin-doktrin di gereja amat kuat menjejali isi kepala
para pengikutnya. Kecuali bagi orang-orang berhati lurus dan memang
mencari kebenaran sejati, sebagaimana nasib berbeda, Sister Beata dan
Sister Patty tersebut.
“Alhamdulillah, meskipun saya iri, bukan
orang yang dibesarkan dengan cara Islam, orang tua bukan muslim. Namun
masih beruntung, saya menemukan Islam sebagai jalan hidup, saya harus
mensyukurinya, bukan begitu, kan sister?” ujarnya meyakinkan diri, kami
mengangguk dan bergantian memeluknya.
Selalu ada kebahagiaan
terbersit dalam nurani ketika berdiskusi dengan mereka. Rasanya,
“masalah apapun berasa keciiiil” dibandingkan permasalahan hidup mereka,
terutama detik-detik pencarian Tuhan, saat mereka menuju cahaya
Al-Islam. “Oh, Allah… inikah perasaan nikmat saat mendekap hidayahMU
erat-erat? Subhanallah…. Terima kasih yaa Allah….” Semoga rasa syukur
padaMu selalu mantap dan kokoh berada dalam hati ini, aamiin.
sumber: Dakwatuna