Judul: Kepada Aktivis Muslim
Penulis: DR Najih Ibrahim
Penerbit: Aqwam – Solo
Cetakan: II ; Februari 2011 / Shafar 1432 H
Tebal: 200 Halaman
Menjual Diri kepada Allah
Hidup
sepenuhnya adalah pilihan. Baik atau buruk. Ketika baik sudah dipilih
pun, ia akan bercabang: setengah baik, sekedar pendukung atau
benar-benar baik sehingga turut mencari anggota agar kebaikan semakin
bergelombang. Dahsyat. Maka, sebagai muslim, totalitas adalah
keniscayaan.
Totalitas dalam menjalankan kebaikan bukanlah hal
yang mudah. Sederhana saja sebabnya: karena setan tak mungkin membiarkan
kita berada dalam kebaikan. Begitupun, Allah tidak mungkin meninggikan
derajat kemuliaan kita sebelum kita diuji. Dalam hal ini, para nabi dan
rasul adalah yang paling berat ujiannya.
Bapak Adam dan Ibu Hawa.
Keduanya berhasil digelincirkan oleh setan hingga turun tahta. Ke bumi
kemudian beliau ‘diusir’. Pilu. Sesal dan aneka rasa lain ketika
keduanya dilengserkan dari surga lantaran melanggar apa yang dilarang
oleh Sang Pencipta. Keduanya termakan oleh bujuk rayu Iblis.
Nuh.
Beliau adalah rasul yang sangat sabar. Wajar jika beliau dimasukkan
dalam golongan Ulul Azmi, nabi yang memiliki kesabaran baja dalam
berdakwah. Lama dakwahnya seribu tahun kurang setengah abad. Luar biasa!
Namun, selama itu, beliau tak kuasa berbuat apa-apa selain menyeru
umatnya untuk meng-Esakan Allah. Bahkan, istri dan anaknya pun kafir!
Dalam hal ini, Allah dengan tegas mengatakan, bahwa Hidayah adalah hak
prerogatifNya. Kita hanya penyampai. Bukan pemberi hidayah.
Setelah
kedua rasul tersebut, semuanya persis sama: jalan kebenaran tak kan
pernah sepi. Ibrahim, Musa, Isa dan penghulu para nabi, Muhammad
Shallallahu ’alaihi Wa Sallam. Mereka semuanya diberi ujian yang tidak
ringan oleh Allah. Begitupun dengan para penerus risalah dakwah:
Sahabat, Tabiin, Pengikut Tabi’in hingga generasi setelahnya dan kita
semuanya –aktivis muslim. Ujian, tekanan, himpitan, dan aneka makar
lainnya di jalan ini adalah hal yang biasa. Karena kita tidak akan
dibiarkan berkata, ”Kami telah beriman,” kemudian kita tidak diuji.
Ujian
adalah sebuah sarana pembuktian, apakah ucapan kita sekedar pemanis
bibir, atau benar adanya. Ya. Iman itu butuh bukti. Bukan sekedar janji
seperti seringkali disampaikan oleh mereka yang berdasi namun tidak tahu
diri.
Aktivis Muslim: Penyeru yang Menjual Dirinya
Sebuah syair Arab mengatakan,
Tugasmu menebar benih. Bukan menuai hasil
Dan Allah adalah sebaik-baik Penolong bagi orang-orang yang berusaha (Hal 67)
Oleh
karenanya, jalan ini hanya bisa dilalui dengan kesungguhan. Ia tak
mungkin bisa ditapaki oleh mereka yang bersantai leha. Manja, malas
bukanlah tabiat para pelaku di jalan ini, “Sesungguhnya Islam
membutuhkan orang yang memberikan segalanya untuk agamanya;
kehidupannya, waktunya, hartanya, tenaganya, ruhnya, rumahnya, mobilnya,
dan semua yang dimiliknya. Kita menghendaki seseorang yang menjual
dirinya kepada Allah dengan keutuhan makna kalimat ini. Kita menghendaki
seseorang yang setiap hari membawa sesuatu yang baru untuk
dipersembahkan kepada Islam.” (Hal 86)
Totalitas pengabdian.
Itulah yang dibutuhkan oleh Dakwah. Bukan sebaliknya. Lantas, apa yang
akan kita peroleh manakala diri telah
terjun bebas di jalan
ini? Jalan yang isinya adalah cobaan yang melelahkan? Tak ada kenikmatan
apatah lagi kemewahan duniawi dengan segenap kesenangan yang melenakan?
“Kami
sampaikan kepada seluruh aktivis muslim yang mengikhlaskan amalnya
hanya kepada Allah: Selama kalian berada di atas kebenaran,
bergembiralah! Demi Allah yang tidak akan menghinakan kalian selamanya,
yang kalian lakukan adalah menjalin silaturahim, membela syari’at,
memperjuangkan kemuliaan, memerangi kebejatan, berdakwah untuk Allah
dengan
bashirah, beramar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan qiyamullail, mengerjakan puasa sunnah, dan seterusnya.” (Hal 71)
Oleh
karenanya, mereka yang tidak ihklas akan berjatuhan di jalan dakwah.
Baik jatuh di awal jalan, di pertengahan atau menyimpang dari jalan yang
telah dicontohkan oleh Sang Teladan. Dalam hal ini, banyak kita jumpai
mereka yang memilih mundur dari medan dakwah. Padahal, mundur dari medan
dakwah berarti kepedihan semu sebelum kepedihan selamanya di akhirat.
“Sungguh!
Seseorang yang meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya laksana
seseorang yang mendahulukan kelezatan sesaat, kesenangan semusim, dan
mencari kegembiraan dengan membayar kesedihan sepanjang masa.
Menceburkan diri ke sumur maksiat dan berpaling dari cita-cita mulia
kepada keinginan rendah lagi hina. Dia akan berada di bawah kungkungan
setan, di lembah kebingungan dan terbelenggu dalam penjara hawa.” (Hal
82)
Lantas, mungkinkah kita berhasil jika jalan yang tengah kita
lalui diisi dengan berbagai uji yang tak mudah? Sungguh! Umat sebelum
kita telah membuktikannya dengan gemilang.
Rasulullah mulai
berperang sejak usia 54 tahun. Setelah itu, hingga wafatnya, beliau
mengikuti perang sebanyak 27 kali. Ketika usianya memasuki 60 tahun,
beliau masih memimpin perang Tabuk. Di antara para sahabat beliau ada
yang masih berangkat perang saat usianya 70 tahun, bahkan diriwayatkan
ada yang masih mengikuti perang saat usianya 90 tahun. Allahu Akbar!
Dalam
soal Jihad Harta, jangan ragukan lagi keteladanan generasi awal Islam
ini. Utsman bin Affan membiayai perang Tabuk seluruhnya. Padahal, jumlah
personil dalam perang itu sekitar 10.000 orang. Semuanya atas biaya
Utsman. Lain lagi dengan Abdurahman bin Auf. Beliau menyumbangkan 500
ekor kuda. Di lain waktu, beliau menyedekahkan 500 ekor untanya. Bahkan,
Abu bakar menyedekahkan seluruh hartanya untuk berjuang di jalan Allah.
Dari
segi ibadah ritual, jangan lupa dengan Umar Bin Khaththab. Beliau yang
awalnya jahiliyah merupakan pribadi yang senantiasa melakukan
qiyamullail. Bahkan di bawah matanya terdapat tanda hitam lantaran
aliran air matanya saat merenungi penciptaan Allah dan bekas-bekas
kejahiliyahan beliau. Beliau pernah pingsan selama berhari-hari karena
mendengar ayat azab dibacakan ketika beliau tengah berkeliling di
Madinah meneliti rakyatnya di saat malam telah menyelimuti bumi.
Padahal, surga sudah Allah gratiskan untuk beliau.
Yang harus
diingat adalah kadar kewaspadaan kita terhadap setan yang selalu
menggoda. Solusi yang paling tepat adalah Doa. Berdoalah! Karena doa
adalah senjata kaum mukmin. Berdoalah agar Allah menjauhkan kita dari
godaan setan. Berdoalah agar Allah mengokohkan langkah kita untuk
menapaki jalan cinta para mujahid. Berdoalah agar Allah mewafatkan kita
dalam keadaan syahid, dalam keadaan memperjuangkan tegak tingginya panji
Allah.
Jangan lupa pula untuk senantiasa memperbarui iman. Karena
iman merupakan sesuatu yang bisa bertambah. Pun, bisa berkurang sesuai
kadar kualitas kedekatan kita kepada Allah.
Dalam bagian akhir
dari buku yang ditulis oleh DR Najih Ibrahim ini, beliau memberikan enam
tips yang bisa kita jalani untuk memperbarui iman:
- Mempelajari
sejarah para pendahulu Islam. Bayangkan bahwa kita tengah berada dalam
barisan mereka, sehingga aliran energi positif mereka bisa kita serap
untuk ditularkan kepada sekitar.
- Menyendiri untuk berdua dengan Allah baik melalui tahajud, tilawah ataupun dzikir dan aktivitas merenungi ayat-ayatNya.
- Beraktivitas
positif untuk menumbuhkan tawadhu’. Jangan pernah bangga dengan amal,
sebanyak apapun. Sesekali, jadilah seperti mereka yang ‘biasa-biasa’
saja. Seperti Umar yang sengaja memanggul gandum seorang diri untuk
diberikan kepada rakyatnya. Atau melakukan aktivitas kecil yang biasa
dikerjakan oleh para pembersih lantai masjid, dan seterusnya.
- Ingat
mati dengan ziarah. Ziarah maknanya mengingat mati. Bukan menyembah
pada makam dan meminta pada orang yang telah mati. Ingat mati membuat
diri mengetahui akan kesejatiannya sehingga memacu untuk berprestasi
setinggi mungkin.
- Berkunjung ke orang shalih. Orang shalih
ibarat penyejuk di tengah rimba raya kehidupan. Berkunjung kepada mereka
membuat hati sejuk lantaran pancaran keshalihan dan nasihat penyejuk
ruhani. Sering-seringlah melakukan hal ini. Mudah-mudahan iman kita akan
senantiasa terbarui.
- Mengingat Ayamullah. Ayyamullah adalah
hari-hari Allah. Mengingatnya bisa memunculkan semangat perjuangan yang
sempat meredup. Ingatlah akan barokahnya hari raya idul fithri
-misalnya- agar kita bersemangat untuk terus mensucikan diri. Ingat pula
tentang bergeloranya hari Badar, Uhud dan aneka peperangan lainnya. Hal
itu merupakan sebuah sarana yang akan menumbuhkan gairah perjuangan
sehingga kita teraliri semangat untuk terus melakukan kebaikan, di
manapun kita berada. Insya Allah.
Akhirnya, selamat
menikmati sajian luar biasa di dalam buku ini. Semoga kita selalu
istiqamah dalam mengarungi jalan terjal bernama dakwah.
alhamdulillah mendapatkan pecutan semangat dari artikel ini.. teringat lagi salah satu kalimat di surat cintaNYA :
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka
Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabuut: 2-3)
“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Jalan yang ditempuh ini adalah jalan yang terjal dan panjang yang tidak semua orang bisa dengan sabar melewati jalannya.. Tapi ini bukan pilihanku, kamu atau kalian, melainkan ini adalah suatu kewajiban setiap diri pribadi muslim, yaa ini kewajiban kita.. Sadarilah, dakwah itu cinta.. Dan cinta akan meminta segalanya yang ada pada diri kita.. Dakwah itu memberi.. Maka ia senantiasa memberi dengan hati..
Tetap semangat untuk para mujahhid mujahhidah di seluruh dunia....
semoga langkah kita senantiasa diberi kekuatan olehNYA.. :)
sumbernya klik disini :)