Majelis pekanan yang lazim dikenal sebagai halaqah, tak bisa dipungkiri adalah nadi bagi sebuah harakah Islamiyah. Di dalamnya, para kader dakwah berinteraksi secara intim dan intens di bawah bimbingan seorang Murabbi. Pertemuan-pertemuan pekanan semacam ini haruslah dinamis dan produktif agar harakah Islamiyah dapat terus menggulirkan amal-amal dakwah demi kejayaan Islam. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa tak selalu halaqah ini berjalan mulus. Ada kalanya rutinitas pekanan ini didera kelesuan. Karena bagaimanapun pribadi-pribadi di dalamnya adalah manusia, bukan kumpulan para malaikat, yang memiliki iman yang fluktuatif.
Mengapa sebuah halaqah tak lagi nyaman didatangi?
Pertama, disorientasi tujuan.
Motivasi orang mengikuti kajian rutin seperti halaqah sangat beragam. Ada yang karena ingin mendalami ilmu agama. Ada yang tertarik oleh ajakan kawan. Ada yang bersungguh-sungguh ingin menegakkan agama Allah. Pun tak sedikit yang semangat berhalaqah agar naik jenjang keanggotaan dalam jamaah. Nah, ketika dirasa peluang naik tingkat sangat kecil, bukan tidak mungkin semangat yang sebelumnya menyala-nyala bisa langsung padam. Disorientasi tujuan ini berkaitan erat dengan ruhiyah seseorang sehingga ketika ada yang mengalami hal ini, maka pasokan ruhiyahnya harus ditingkatkan. Bisikan-bisikan hawa nafsu harus ditepis agar keikhlasan tetap terjaga. Komitmen bergabung dalam jamaah dakwah harus dikuatkan kembali.
Kedua, pelaksanaan halaqah yang membosankan.
Bagaimanapun, mengelola halaqah ada seninya. Meskipun kurikulum sudah ada, silabus sudah lengkap dan tujuan masing-masing materi sudah jelas, tetap saja diperlukan strategi agar halaqah berjalan dinamis dan penuh kesan. Halaqah yang melibatkan semua komponen dan bergerak menuju arah yang sama tentulah halaqah yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya. Oleh karenanya setiap individu di dalam halaqah memiliki peranan yang sangat penting demi mewujudkan halaqah yang dirindui.
Ketiga, hubungan Murabbi dengan mutarabbi.
Murabbi sebagai pemimpin dan pengendali halaqah memegang peranan yang paling penting. Sosoknya haruslah mampu diterima semua anggota kelompok. Tidak ada penolakan terhadap dirinya. Imam Hasan Al Banna mengibaratkan figur ini sebagai syaikh dalam hal kepakaran ilmu, orang tua dalam hal kasih sayang, guru dalam hal pengajaran, kakak dalam hal teladan dan pemimpin untuk urusan ketaatan.
Pernah ada seorang mutarabbi yang menyampaikan kepada Murabbinya, “Ustadz, saya usul dalam halaqah kita ketika adzan Isya’ berkumandang marilah kita segera shalat berjamaah sebagaimana ketika kita shalat Maghrib.” Tak dinyana, jawaban Sang Murabbi begini.”Akhi, saya ketika halaqah dengan para doktor-doktor syariah biasa saja gak shalat Isya’ jamaah waktu halaqah. Shalatnya nanti di rumah saja biar waktu halaqah nggak terlalu lama. Saya rasa, yang perlu diperbaiki itu komitmen Antum. Antum suka datang telat, waktu halaqah tidur, kurang ihtiram, gak setor hafalan….”
Menjadi pemimpin, tak boleh alergi kritik sebagaimana menjadi mutarabbi pun tak boleh alergi nasihat dan teguran. Ketika jawaban tersebut disampaikan, maka si Al akh pun balik membalas, “Ustadz, saya kan usul. Usul itu bisa diterima atau ditolak. Kalo diterima, Alhamdulillah kalo nggak ya nggak apa-apa. Jangan malah membeberkan aib-aib saya…”
Halaqoh :)
Ketika hubungan Murabbi-Mutarabbi seperti ini –saling menyerang- pastilah halaqah bukan lagi momen yang dirindukan. Ia akan menjadi waktu yang tidak diharapkan, atau dijalani dengan terpaksa. Dihadiri tanpa semangat. Oleh karenanya harus ada hubungan yang mesra antara Murabbi dengan mutarabbi-nya. Jika hubungan ini sudah tercipta, niscaya halaqah akan menjadi momen yang dinanti-nanti.
Keempat, melemahnya militansi.
Bisa jadi, masa-masa awal mengikuti halaqah adalah momen-momen yang tak terlupakan. Berkobar-kobarnya semangat dan keinginan meninggikan agama Allah. Setelah itu akan dirasakan kestabilan dan keadaan yang biasa-biasa saja. Kesibukan dunia, rutinitas kerja, tuntutan-tuntutan di luar dakwah dan kompleksitas dari ketiga faktor di atas akan melemahkan militansi. Pada kondisi seperti ini, halaqah bisa berubah menjadi sekedar rutinitas yang menjemukan. Hanya akan menjadi majelis ‘setor muka’. Jika ini yang terjadi, maka wajarlah jika kelak lambat laun halaqah tak akan lagi dirindui. Oleh karenanya, bangkitlah! Semangat itu tak dicari, tapi ditumbuhkan. Kemudian dipupuk dan dijaga dari hama dan virus yang akan melemahkannya. Militansi tak kenal musim. Ia harus dijaga senantiasa hidup dan menjadi api perjuangan.
Wahai Saudaraku, mari tumbuhkan kerinduan akan hari itu. Hari pertemuan kita dengan saudara yang diikat karena Allah. Hari yang di dalamnya penuh keberkahan dan doa para malaikat. Satu hari dalam setiap minggu yang kita dedikasikan untuk menghasilkan amal-amal dakwah dalam bingkai harakah Islamiyah…
by : Qonitatillah, MSc.