Bismillaah.. 21 tahun sudah menjajali setiap liku hidup. Masih banyak kurang sana-sini. Masih banyak yang harus diperbaiki. Terima kasih Rabb, atas semua karunia yang telah diberi, atas seluruh cinta yang tengah dikasihi.
Terima kasih atas segala masalah yang Kau berikan, hingga masalah itu kadang menjadikanku lebih kuat menjalani setiap fase-fase kehidupan ini. Terima kasih kepada murid-murid saya di bimbel yang telah memberikan saya surprise berupa kue dan kado. Untuk Hesti dan Maya, jazaakumullah khair. Semoga Allah membalas kalian dengan yang lebih baik :). Semangattt yoo untuk Ujian Nasionalnya!! >_<
21 tahun bukan usia muda lagi, waktunya berkontribusi lebih, waktunya memberi lebih, waktunya bekerja lebih keras lagi.. Yuk semangat jalani hari.. mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari saat ini.. :)
Kehidupan Pasca Kampus
Diposting oleh
Anonymous
on Selasa, 26 Maret 2013
/
Beberapa hari lalu..
Ketika sedang mengajar, telepon masuk. Ternyata dari senior di kampus. Tak kuangkat karena waktunya mengajar maka saya akan fokus mengajar.
Esoknya, malam hari, ketika sedang rapat bimbel CLC di rumah makan di sudut Pasar Minggu ba'da liqo, tetiba ring tone telepon berbunyi. Wah, senior kampus itu lagi. Mungkin ingin menanyakan progress mentoring fakultas saja. Beberapa waktu lalu beliau sempat menanyakan progress mentoring akhwat lewat sms tapi belum sempat saya balas, karena jadwal saya padat sehingga tak sempat membalas sms nya. (lebih tepatnya karena lupa sih, hehe :D ). Akhirnya tidak saya angkat teleponnya, dikarenakan baterai handphone sangat low. Keesokan paginya, beliau mengirim pesan lewat inbox di media sosial..
"Nurul, dari kemaren ditelpon ngga bisa kenapa ya?"
"ka hp an lowbat pas kk telp td mlm an g brani angkat karna lg d luar rmh gada stop kontak buat charge.
wkt yg prtama kk telp an jg lg ngajar -,- Kk kl mau telp blg2 dl ka lwt sms"
wkt yg prtama kk telp an jg lg ngajar -,- Kk kl mau telp blg2 dl ka lwt sms"
"Ok."
Tak lama kemudian, siangnya beliau mengirim pesan lagi ketika saya sedang rapat membicarakan tempat bimbel bersama pemilik ruko di daerah Depok.
"Afwan nurul ada yang mau ditanyakan terkait hal penting.."
"lg rapat kaaaa"
Selesai rapat sekitar ba'da zuhur, saya pergi menuju bimbel di daerah pejaten untuk mengajar. Setelah sampai di tempat bimbel, saya menyempatkan membalas sms senior saya yang beberapa hari lalu tidak saya balas. :D
"kk mentoringnya dialihkan ke Alin anak FT. Alin masih tarbiyah. Mentoring peserta diklat masih digabung dengan alin. Kalau ka Septi belum tahu ka masih tarbiyah atau nggak :) kak afwan ya kadang lupa bales sms :("
"Alin angkatan berapa?"
"Seangkatan sama ana ka.. Angkatan 2009 Arsitektur :) "
"Nurul, ada yang mau ditanya neeh? Tapi afwan sebelumnya, ada yang minta tanyain ke Nurul, alumni ikhwan tepatnya, apakah Nurul sudah siap menikah? Afwan sebelumnya.."
JLEBBBBBB!!! Ternyata beliau mau nelpon cuma ingin bertanya mengenai hal itu pada intinya!!
Saya bingung, pengen pingsan (ini lebay), gak tahu badan lemes gak karuan di ruang kelas bimbel. Kenapa yang beginian datangnya bertubi-tubi. Allaahh. Tsabbit qolbi 'alaa diinik ya Rabb.. Hasbunallaah wa ni'mal wakiil :(
Langsunglah saya balas..
"Belum siap kak untuk saat2 ini, afwan ya ka :)"
"Okeh, jazaakillah khair balasannya, afwan ya.."
"(y) wa iyyaka kak"
Apakah ini yang dinamakan nasib mahasiswi yang sudah lulus kuliah? Biarkan saya diinkubasi dahulu, biarkan saya menyiapkan diri terlebih dahulu. Semuapun butuh persiapan, ibarat kau ingin mendaki suatu gunung dengan medan yang sangat terjal nan berliku tajam, kau harus menyiapkan segala perbekalan yang ada. Begitupun dengan menikah, semua butuh persiapan secara matang. Apalagi ini adalah sebuah bentuk ibadah yang sangat agung yang kita lakukan untuk Allah, butuh ilmu untuk menjalaninya. Ya kan?
Ketika kakak saya bilang, "Udah kalau udah ada mah jangan ditunda-tunda.."
Ahh ini bukan masalah tunda-menunda. Tapi ini adalah mengenai kesiapan diri. Apa jadinya ketika sudah memutuskan untuk berkata siap, ternyata kita masih minim memperbekalkan diri kita dengan ilmu yang ada? Apa jadinya rumah tangga nantinya? Bagaimana nasib calon jundi-jundiyah kita ketika kita mendidiknya dengan ilmu yang seadanya saja? Apalagi untuk seorang akhwat, amanahnyapun tidak kecil. Pun untuk seorang ikhwan. Persiapkan sebaik-baiknya diri kita untuk calon istri ataupun calon suami kita kelak. Semoga Allah limpahkan berjuta rahmat dan kasih sayangNYA, serta menurunkan berjuta ilmu tuk kita semua.. aamiin.. Semangat dan selamat persiapkan diri temansss!! :)
Betapa Pentingnya Makna Tawakkal
Diposting oleh
Anonymous
on Jumat, 22 Maret 2013
/
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)
Setelah sekian lama berpikir, apa makna tawakkal yang sebenarnya. Ya, tawakkal adalah menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah atas semua ikhtiar yang sudah kita lakukan dan do'a yang telah kita panjatkan. Tawakkal = Ikhtiar + do'a. Ya, benar, saya sedang mendalami dan belajar untuk bertawakkal. Menyerahkan segala keputusannya kepada Allah. Karena kita sebagai manusia tidak tahu apa-apa saja yang terbaik yang sudah ditakdirkan Allah untuk ummatnya. Rezeki, maut, jodoh, semua sudah tertulis jelas di lauhul mahfuzh sana. Lalu apalagi yang perlu diragukan? Hanya ikhtiar memperbaiki segala apapun yang masih bisa diperbaiki dan do'a pastinya.
Mungkin saya akan mendalami makna tawakkal dalam hal jodoh. Hoho.
"Insya Allah kalau gak baik bagi kk, niat itu hilang sendiri..Tapi kalau baik, maka niat itu akan tetap ada..Santai aja, Rul..Semuanya udah ditakdirkan kok, gak bakal terjadi kalau bukan jodoh.."
Astaghfirullaah, #plakkk tertampar rasanya. Saya lupa bahwa semua memang telah ditakdirkan dengan jelas "di sana" olehNYA, Sang Pemberi keputusan terbaik yang senantiasa menggerakkan hati hamba-hambanya.
"gak bakal terjadi kalau bukan jodoh.." Masya Allah, di mana sikap tawakkal-mu, Nurul??
Apa kau ragu dengan takdir-NYA?? Astaghfirullaahal'adziim. Ini hanya bentuk kekhawatiranmu saja atas ketidaksiapan menerima hasil yang akan ditakdirkan olehNYA. Ini semua karena jalanmu dulu yang sudah terlalu jauh itu dan itu yang membuat dirimu tidak siap atas keputusan Allah nanti kan, Rul?? Ah sudahlah..yang lalu biarlah berlalu. Biarkan angin yang membawa masa lalu itu.
Tawakkal memang sulit, sangat sulit jika memang kita benar-benar mendalami makna tawakkal tersebut. Teori gampang, aplikasinya yang sulit. Rabb, Iringi setiap langkah kami, bimbing kami agar senantiasa istiqamah di jalanMU, dan bisa selalu bersikap pasrah atas setiap takdirMU.. Aamiin...
Curhat #1
Diposting oleh
Anonymous
on Kamis, 21 Maret 2013
/
Bismillaah.
Malam ini rasanya belum muncul inspirasi untuk menulis. Aaaaaa banyak inspirasi dari beberapa hari lalu, tapi tapi tapi ngetiknya itu yang lagi gak mood. :D
Biasaaaaa.....sulit kalau sudah membahas mood atau tidak mood. Ok saya akan cerita saja kalau besok bimbel saya resmi launching dengan murid-murid saya yang zuperrrr!! Nama bimbel kami, Coco Learning Center. Huaaaa itu mikirnya panjang lho mencari filosofi sesuai visi dan misi bimbelnya. Ayooo yang mau mampir untuk sekedar curhat-curhat di kost kecil kami juga boleh. Atau mau belajar bareng kami, boleh banget!! :D
Nantikan Facebook, Twitter, Instagram, dan Blog kami yoo... ^___^
New Entrepreneur with New Spirit
Diposting oleh
Anonymous
on Selasa, 19 Maret 2013
/
Bismillaah. Temans, insya Allah tahun ini saya mulai mencoba membuka usaha Bimbingan Belajar bersama dengan teman SMK saya. Semoga Allah berkahi setiap usaha kami. Dan insya Allah mulai pekan ini, bimbingan Belajar kami sudah mulai aktif. Yang namanya buka usaha semua butuh usaha. :D
Awal pembukaan bimbel, saya mulai rapat bersama teman saya, yap berdua. Hanya berdua, aku dan dia. *Ups. Dia nya akhwat lho, bukan ikhwan. Gak boleh su'udzan tuh. :P
Ceritanya mau ngikutin jejak ummul mu'minin, Siti Khadijah yang bakat banget jadi entrepreneur yang sukses! Kalau beliau menjadi pengusaha dalam bidang perdagangan dan dibantu oleh Rasulullaah, bedanya saya ingin menjadi pengusaha dalam bidang pemberian jasa yang dibantu oleh teman saya. hihi ^^
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali
tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a
anak yang sholeh” (HR. Muslim)
Kenapa saya memutuskan untuk membuka usaha di bidang ini? karena saya merasa sudah lama bergelut di bidang ini, di beberapa bimbel. Dan alangkah baiknya jika cara-cara yang sudah saya dapatkan di bimbel sebelumnya, saya terapkan di bimbel baru ini. Saya mau berbagi info nih untuk pembuatan bimbel saya bersama teman saya. Mungkin setiap step nya akan berbeda dengan yang lain, jadi jangan jadikan tulisan ini sebagai bahan perdebatan ya jika kita berbeda pendapat. :D
First step, pembuatan nama bimbel dan filosofi dari nama bimbelnya, serta penyatuan visi.
Setelah semua clear, kami membicarakan kurikulum yang akan dibuat, anggaran yang diperlukan, serta persiapan administrasi yang diperlukan.
Setelah semua selesai, kami mulai mencari kontrakan di daerah yang sasaran pasarnya buanyak. Ya sekitaran SD, SMP, SMA/K lah ya, dan banyak dilalui angkot agar banyak alternatif jalan yang bisa dilalui. Modal nekat, pagi-pagi, sampai malam-malam nyari-nyari muter mampang, pasar minggu, siaga, lenteng, subhanallaah susahnyooo nyari kontrakan yang murah, tempatnya besar, dan bayarnya per bulan. Akhirnya belum dapet juga kontrakannya hingga sekarang. hoho :D
Tapi ahhh setelah berpikir keras, karena sudah ada murid yang minta bimbel ke saya untuk persiapan UN, 3 orang anak SMK (lumayan lah ya), kami keliling untuk mencari alternatif tempat, yaitu kost-an. :D Setelah keliling pasar minggu siang-siang panas-panasan (curhat), finally kami dapat kost-an harga mahasiswa dengan fasilitas yang gak kalah keren. Tinggal beli perlengkapan yang dibutuhkan aja nih, bi idznillaah! Sambil nyari-nyari kontrakan yang letaknya strategis untuk keberlangsungan usaha bimbel kami. Do'akan semoga barakah ya temans. ^____^
Jodohku Di Tangan Pembinaku
Diposting oleh
Anonymous
on Rabu, 13 Maret 2013
/
"Sah ya?"
"Saaah!!!"
Hepi tersenyum sumringah. Ia mengulurkan tangan kepada orang yang ada di depannya yang baru saja membeli kambing kurbannya. Si pembeli menyambut tangan Hepi. Mereka berjabat tangan, erat.
"Ngomong-ngomong, ente sendiri kurban gak Hep?" Si pembeli bertanya.
"Pengennya sih gitu... Ada sih uang, tapi buat keperluan laen yang gak kalah mendesak."
"Wuiih.. keperluan apaan tuh? Emang keperluannya bisa ngalahin keutamaan berkurban."
"Insya Allah begitu.. Kurban kan sunnah muakaddah. Kalo yang ini... Bisa dikatakan wajib lah.."
"Oke deh. Semoga urusannya dipermudah Allah."
"Amiin.. Amiin ya Robbal'alamiin..." Hepi mengaminkan dengan penuh penghayatan.
Si pembeli berlalu. Ia adalah pembeli kambing kurban ke-empat yang Hepi dapatkan semenjak seminggu yang lalu ia mengedarkan brosur hewan kurban kepada orang-orang yang dikenalnya. Hepi benar-benar senang luar biasa. Terbayang uang tabungannya yang ia persiapkan untuk menikah sudah bertambah. Dan muncul pula rasa optimis bahwa ia sudah memiliki pekerjaan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya kelak bila ia menikah. Hepi senang, yakin, dan bertambah semangat.
Sejak enam bulan yang lalu Hepi mulai merintis berbagai usaha dan mulai mengumpulkan uang. Tujuannya hanya satu: menikah. Hepi yang sedang kuliah semester 6 merasa sudah saatnya ia menikah. Selain karena ia sudah memasuki usia aqil baligh, ia juga merasa sudah menemukan jodoh yang tepat untuk dinikahi.
Adalah Nita, seorang aktifis Rohis Kampus yang menjabat ketua keputrian yang menyebabkan Hepi bertekad bulat untuk menikah. Perasaan suka di hati Hepi sudah mulai tumbuh sejak satu setengah tahun yang lalu. Sosok Nita memang mudah membuat laki-laki jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu yang terjadi pada Hepi ketika melihat Nita yang saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Departemen Keputrian melakukan presentasi program kerja di sebuah acara Rapat Kerja kepengurusan baru.
Setelah jatuh cinta pada pandangan pertama itu, mulanya Hepi tidak terlalu menuruti perasaan yang aneh pada dirinya. Tapi beberapa kali pertemuan dan beberapa interaksi membuat kekagumannya bertambah. Posisi Hepi di Organisasi Rohani Islam Kampus sebagai anggota Departemen Syiar memang sering berurusan dengan Nita bila ada agenda Keputrian yang akan melaksanakan acara dalam skala besar. Syuro-syuro kecil yang cuma dihadiri oleh beberapa orang, hingga syuro agak besar yang melibatkan beberapa department, memberikan bayangan kepada Hepi seperti apa sosok Nita itu. Dan makin hari makin bulat tekad Hepi untuk hidup berdampingan bersama Nita.
Hingga enam bulan yang lalu, setelah Hepi mengikuti “Dauroh Pra Nikah”, sebuah training persiapan pernikahan untuk mereka yang akan melaksanakannya, Hepi memutuskan untuk memulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menikah. Tabungan, pekerjaan, penghasilan, ilmu, semuanya ia kejar. Ia kumpulkan buku-buku pernikahan, walau pun membeli dari sebuah toko buku loak yang ada di belakang kampusnya.
Di kajian pekanan yang dibina oleh Imran, seorang alumni yang pernah menjabat sebagai Ketua Rohis periode tiga tahun yang lalu, Hepi memberanikan diri mengangkat tema-tema pernikahan. Hepi tahu, kakak pembinanya itu belum menikah. Tapi Imran tetap meladeni diskusinya. Bahkan Hepi menantang Imran untuk berlomba adu cepat siapa yang lebih dulu menikah. Saat tantangan itu dilontarkan, dengan sedikit tertawa, Imran yang sudah bekerja mapan di sebuah Bank Syariah menyanggupi tantangan Hepi.
Tapi Hepi tidak pernah menceritakan kepada Imran tentang ketertarikannya dengan Nita. Ia hanya berharap suatu saat Imran memudahkan permintaannya untuk ber-ta’aruf dengan Nita bila saatnya tiba, dan tidak memberatkannya dengan pertimbangan yang aneh-aneh. Hepi agak khawatir saat beberapa teman tempat curhatnya menyinggung masalah “sekufu’”, dalam artian Hepi tidak sekufu’ atau tidak cocok dengan Nita. Bukan masalah keturunan, bukan masalah harta kekayaan, atau pun kecerdasan, tetapi masalah tampang. Untuk masalah ini, Hepi tak bisa berbuat apa-apa karena dari sananya cetakannya sudah seperti itu. Ia berharap bisa berproses tanpa terganggu selisih tampang yang timpang.
*****
Hepi berjalan menelusuri jalan setapak yang mengantarkannya pada sebuah peternakan di pinggir kota, di sore yang terik saat matahari bebas melempar cahayanya ke bumi tanpa penghalang. Peternakan Haji Yamin, di sana Hepi punya investasi berupa empat ekor kambing dan sepetak kolam yang berisi puluhan ikan Lele. Investasi itu rutin mengalirkan uang kepadanya tiap bulan dengan sistem bagi hasil dengan pemilik peternakan.
Di depan pintu gerbang peternakan, ada sebuah pos tempat petugas keamanan berjaga. Di sana sedang duduk seorang seumuran Hepi sembari membaca sebuah buku. Hepi melontarkan salam kepada orang itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam. Eh Hepi… sudah laku berapa?” Orang itu menjawab salam dan menyambut Hepi dengan pertanyaan.
“Alhamdulillah udah dapat enam pembeli. Sendirian aja, Wal?” Hepi memasuki ruangan pos jaga, menyeret sebuah bangku, dan duduk di samping Awal, orang yang disapanya.
“Iya… Lagi baca buku tentang nikah. Gak mau kalah sama ente. Hehehe…”
“Haha… Awaal.. Awal… Mau nikah sama siapa? Udah ada calon? Jangan-jangan kita ngincer orang yang sama lagi…” Hepi cengengesan.
“Santai aja Hep. Ane cukup tau diri untuk ngejer-ngejer Nita. Emangnya ente? Modal nekat doang.” Awal mengambil sebuah gelas kosong di atas meja di depannya, lalu menuangkan air ke gelas itu dari sebuah teko. “Minum Hep!” Tawar Awal.
Hepi yang haus langsung menghabiskan air dari gelas itu.
“Enak aja nekat. Investasi ane ini adalah modal buat berumah tangga. Bukan modal nekat.” Ujar Hepi setelah dahaganya sembuh.
“Haha… Kalo cuma modal ternak, ane udah dari dulu nikah dong. Ente aja yang cuma investasi di peternakan Abah ane berani nikah, masa’ ane enggak.”
“Nah, tuh nyadar. Emang kenapa belum mau nikah? Modal harta udah ada.”
“Entar deh. Belum punya ilmu.”
“Alasan ih… Makanya banyak baca dong. Kalo masalah ilmu mah… kita akan selalu merasa kekurangan.”
“Ente udah banyak baca buku nikah kan Hep? Udah siap dari sisi ilmu?”
Hepi mengangguk. “Ya Insya Allah begitu.”
“Coba sebutin rukun nikah!” Tertawa kecil, Awal menguji Hepi.
Hepi gelagapan. “Mempelai pria, wanita, wali, penghulu dari KUA, saksi…”
Awal tertawa terbahak-bahak. “Ngawur ya.. Sejak kapan petugas pencatat nikah masuk jadi rukun nikah? Ah payah niiih… katanya udah siap dari sisi ilmu?”
“Ya setidaknya di Negara kita kalo mau nikah kan harus ada petugas pencatat nikah dari KUA. Hepi tersipu.”
“Maaf Hep.. Ane gak yakin ente diperbolehin nikah sama Bang Imran. Ente belum siap deh Hep.”
Awal dan Hepi berada pada satu kelompok kajian pekanan yang sama di bawah binaan Imran. Awal juga anggota Rohani Islam. Ia menjabat sebagai Bendahara.
“Jangan gitu Wal. Jangan nakut-nakutin. Untuk masalah jodoh, ana gak mau diatur-atur. Walau pun sama orang tua. Apalagi cuma sama Bang Imran.”
“Kalau Bang Imran gak mau memperantarai ente untuk ta’aruf dengan Nita, gimana?”
“Ane nekat aja, langsung ngajak Nita ta’aruf. Gak pake perantara-perantaraan.”
Awal mengangguk. Hening sesaat di antara mereka.
“Hep, mau mendengarkan nasehat ane?”
“Mau insya Allah. Kalo gak mau, berarti hati ane udah mati.”
“Kalau antum meniatkan pernikahan itu sebagai ibadah, maka antum gak akan masalah walau pun menikah bukan dengan Nita. Karena fokus ibadahnya bukan pada menikahi Nita, tapi pada menikahnya itu sendiri. Keikhlasan antum menikah karena Allah itu diuji saat antum gagal menikah dengan Nita. Kalau antum ikhlas, maka antum gak akan kecewa karena masih banyak kesempatan. Tapi kalau antum kecewa berat, maka niat antum adalah cuma mau menyenangkan diri dengan menikah dengan Nita, bukan sebagai penghambaan kepada Allah. Begitu Hep.”
Mereka berdua diam. Hepi termenung seperti mencerna kata-kata Awal.
“Memang berat bicara niat kalau sudah terlanjur punya pilihan.” UjarHepi.
“Ana gak mempermasalahkan ente punya pilihan. Tapi jangan sampai pilihan itu menutupi niat karena Allah. Ah… susah kalau bicara niat. Terlalu filosofis jadinya.”
“Iya Wal.. iya…”
“Mudah-mudahan ente gak kecewa, Hep.” Awal tertawa.
“Lho, kenapa Wal? Ente yakin Bang Imran akan menolak permintaan ana? Jangan-jangan ente cuma menggertak, karena ente juga ngincer Nita kan?”
“Bukan. Ya… ada lah… liat aja nanti.” Awal menyembunyikan sesuatu.
Saat matahari makin terperosok ke ufuk barat dan mendekati waktu maghrib, kedua sahabat itu beranjak ke kampusnya. Ada jadwal kajian pekanan malam itu di Masjid Kampus. Dan Hepi sudah bertekad bulat menyampaikan keinginannya ta’aruf dengan Nita kepada Bang Imran.
*****
Kajian pekanan malam itu sudah mulai berakhir saat Imran memimpin doa penutup majelis. Sembari mencicipi makanan yang terhidang di tengah lingkaran, delapan orang peserta kajian bercakap-cakap. Hepi semakin berdebar jantungnya menanti saat yang tepat untuk meminta kepada Bang Imran untuk berbicara empat mata.
“Ikhwan fillah, ada yang mau ana sampaikan.” Ujar Imran menyela percakapan mereka.
“Apa Bang?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Yah, ana punya ini…” Imran mengeluarkan beberapa buah undangan yang terbungkus rapi dengan plastik. Dibagikan undangan itu kemasing-masing anak. Mereka membuka undangan itu tak sabar. Termasuk Hepi. Sebuah undangan pernikahan.
“Afwan Hep. Untuk masalah nikah, ana menang dari antum ya… Ana menikah duluan. Diizinin ya Hep?” Imran tertawa menggoda.
“Insya Allah, bang. Barakallah.” Jawab Hepi. Berbisik dalam hati, Hepi berkata, “Kalahnya gak telak kok Bang. Ana juga bentar lagi bakal nikah dengan…. Nita.”
Belum sempat Hepi membuka undangan dan melihat dengan siapa Imran menikah, suara gemuruh di masjid yang sepi itu bergema dari anak-anak pengajian.
“Dengan siapa?” Hepi membatin dan makin penasaran. Dan saat ia membaca naskah undangan itu, terasa sesak di hatinya saat melihat nama Renita Kusuma terpampang di undangan itu. “Nita...” Ujarnya membisik.
Sebuah tepukan mendarat di pundak Hepi. “Ana udah tau duluan Hep. Mudah-mudahan kata-kata ana tadi sore bisa menguatkan antum.” Suara milik Awal.
Hati Hepi tak karuan. Gemuruh… dan mendung…
"Saaah!!!"
Hepi tersenyum sumringah. Ia mengulurkan tangan kepada orang yang ada di depannya yang baru saja membeli kambing kurbannya. Si pembeli menyambut tangan Hepi. Mereka berjabat tangan, erat.
"Ngomong-ngomong, ente sendiri kurban gak Hep?" Si pembeli bertanya.
"Pengennya sih gitu... Ada sih uang, tapi buat keperluan laen yang gak kalah mendesak."
"Wuiih.. keperluan apaan tuh? Emang keperluannya bisa ngalahin keutamaan berkurban."
"Insya Allah begitu.. Kurban kan sunnah muakaddah. Kalo yang ini... Bisa dikatakan wajib lah.."
"Oke deh. Semoga urusannya dipermudah Allah."
"Amiin.. Amiin ya Robbal'alamiin..." Hepi mengaminkan dengan penuh penghayatan.
Si pembeli berlalu. Ia adalah pembeli kambing kurban ke-empat yang Hepi dapatkan semenjak seminggu yang lalu ia mengedarkan brosur hewan kurban kepada orang-orang yang dikenalnya. Hepi benar-benar senang luar biasa. Terbayang uang tabungannya yang ia persiapkan untuk menikah sudah bertambah. Dan muncul pula rasa optimis bahwa ia sudah memiliki pekerjaan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya kelak bila ia menikah. Hepi senang, yakin, dan bertambah semangat.
Sejak enam bulan yang lalu Hepi mulai merintis berbagai usaha dan mulai mengumpulkan uang. Tujuannya hanya satu: menikah. Hepi yang sedang kuliah semester 6 merasa sudah saatnya ia menikah. Selain karena ia sudah memasuki usia aqil baligh, ia juga merasa sudah menemukan jodoh yang tepat untuk dinikahi.
Adalah Nita, seorang aktifis Rohis Kampus yang menjabat ketua keputrian yang menyebabkan Hepi bertekad bulat untuk menikah. Perasaan suka di hati Hepi sudah mulai tumbuh sejak satu setengah tahun yang lalu. Sosok Nita memang mudah membuat laki-laki jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu yang terjadi pada Hepi ketika melihat Nita yang saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Departemen Keputrian melakukan presentasi program kerja di sebuah acara Rapat Kerja kepengurusan baru.
Setelah jatuh cinta pada pandangan pertama itu, mulanya Hepi tidak terlalu menuruti perasaan yang aneh pada dirinya. Tapi beberapa kali pertemuan dan beberapa interaksi membuat kekagumannya bertambah. Posisi Hepi di Organisasi Rohani Islam Kampus sebagai anggota Departemen Syiar memang sering berurusan dengan Nita bila ada agenda Keputrian yang akan melaksanakan acara dalam skala besar. Syuro-syuro kecil yang cuma dihadiri oleh beberapa orang, hingga syuro agak besar yang melibatkan beberapa department, memberikan bayangan kepada Hepi seperti apa sosok Nita itu. Dan makin hari makin bulat tekad Hepi untuk hidup berdampingan bersama Nita.
Hingga enam bulan yang lalu, setelah Hepi mengikuti “Dauroh Pra Nikah”, sebuah training persiapan pernikahan untuk mereka yang akan melaksanakannya, Hepi memutuskan untuk memulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menikah. Tabungan, pekerjaan, penghasilan, ilmu, semuanya ia kejar. Ia kumpulkan buku-buku pernikahan, walau pun membeli dari sebuah toko buku loak yang ada di belakang kampusnya.
Di kajian pekanan yang dibina oleh Imran, seorang alumni yang pernah menjabat sebagai Ketua Rohis periode tiga tahun yang lalu, Hepi memberanikan diri mengangkat tema-tema pernikahan. Hepi tahu, kakak pembinanya itu belum menikah. Tapi Imran tetap meladeni diskusinya. Bahkan Hepi menantang Imran untuk berlomba adu cepat siapa yang lebih dulu menikah. Saat tantangan itu dilontarkan, dengan sedikit tertawa, Imran yang sudah bekerja mapan di sebuah Bank Syariah menyanggupi tantangan Hepi.
Tapi Hepi tidak pernah menceritakan kepada Imran tentang ketertarikannya dengan Nita. Ia hanya berharap suatu saat Imran memudahkan permintaannya untuk ber-ta’aruf dengan Nita bila saatnya tiba, dan tidak memberatkannya dengan pertimbangan yang aneh-aneh. Hepi agak khawatir saat beberapa teman tempat curhatnya menyinggung masalah “sekufu’”, dalam artian Hepi tidak sekufu’ atau tidak cocok dengan Nita. Bukan masalah keturunan, bukan masalah harta kekayaan, atau pun kecerdasan, tetapi masalah tampang. Untuk masalah ini, Hepi tak bisa berbuat apa-apa karena dari sananya cetakannya sudah seperti itu. Ia berharap bisa berproses tanpa terganggu selisih tampang yang timpang.
*****
Hepi berjalan menelusuri jalan setapak yang mengantarkannya pada sebuah peternakan di pinggir kota, di sore yang terik saat matahari bebas melempar cahayanya ke bumi tanpa penghalang. Peternakan Haji Yamin, di sana Hepi punya investasi berupa empat ekor kambing dan sepetak kolam yang berisi puluhan ikan Lele. Investasi itu rutin mengalirkan uang kepadanya tiap bulan dengan sistem bagi hasil dengan pemilik peternakan.
Di depan pintu gerbang peternakan, ada sebuah pos tempat petugas keamanan berjaga. Di sana sedang duduk seorang seumuran Hepi sembari membaca sebuah buku. Hepi melontarkan salam kepada orang itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam. Eh Hepi… sudah laku berapa?” Orang itu menjawab salam dan menyambut Hepi dengan pertanyaan.
“Alhamdulillah udah dapat enam pembeli. Sendirian aja, Wal?” Hepi memasuki ruangan pos jaga, menyeret sebuah bangku, dan duduk di samping Awal, orang yang disapanya.
“Iya… Lagi baca buku tentang nikah. Gak mau kalah sama ente. Hehehe…”
“Haha… Awaal.. Awal… Mau nikah sama siapa? Udah ada calon? Jangan-jangan kita ngincer orang yang sama lagi…” Hepi cengengesan.
“Santai aja Hep. Ane cukup tau diri untuk ngejer-ngejer Nita. Emangnya ente? Modal nekat doang.” Awal mengambil sebuah gelas kosong di atas meja di depannya, lalu menuangkan air ke gelas itu dari sebuah teko. “Minum Hep!” Tawar Awal.
Hepi yang haus langsung menghabiskan air dari gelas itu.
“Enak aja nekat. Investasi ane ini adalah modal buat berumah tangga. Bukan modal nekat.” Ujar Hepi setelah dahaganya sembuh.
“Haha… Kalo cuma modal ternak, ane udah dari dulu nikah dong. Ente aja yang cuma investasi di peternakan Abah ane berani nikah, masa’ ane enggak.”
“Nah, tuh nyadar. Emang kenapa belum mau nikah? Modal harta udah ada.”
“Entar deh. Belum punya ilmu.”
“Alasan ih… Makanya banyak baca dong. Kalo masalah ilmu mah… kita akan selalu merasa kekurangan.”
“Ente udah banyak baca buku nikah kan Hep? Udah siap dari sisi ilmu?”
Hepi mengangguk. “Ya Insya Allah begitu.”
“Coba sebutin rukun nikah!” Tertawa kecil, Awal menguji Hepi.
Hepi gelagapan. “Mempelai pria, wanita, wali, penghulu dari KUA, saksi…”
Awal tertawa terbahak-bahak. “Ngawur ya.. Sejak kapan petugas pencatat nikah masuk jadi rukun nikah? Ah payah niiih… katanya udah siap dari sisi ilmu?”
“Ya setidaknya di Negara kita kalo mau nikah kan harus ada petugas pencatat nikah dari KUA. Hepi tersipu.”
“Maaf Hep.. Ane gak yakin ente diperbolehin nikah sama Bang Imran. Ente belum siap deh Hep.”
Awal dan Hepi berada pada satu kelompok kajian pekanan yang sama di bawah binaan Imran. Awal juga anggota Rohani Islam. Ia menjabat sebagai Bendahara.
“Jangan gitu Wal. Jangan nakut-nakutin. Untuk masalah jodoh, ana gak mau diatur-atur. Walau pun sama orang tua. Apalagi cuma sama Bang Imran.”
“Kalau Bang Imran gak mau memperantarai ente untuk ta’aruf dengan Nita, gimana?”
“Ane nekat aja, langsung ngajak Nita ta’aruf. Gak pake perantara-perantaraan.”
Awal mengangguk. Hening sesaat di antara mereka.
“Hep, mau mendengarkan nasehat ane?”
“Mau insya Allah. Kalo gak mau, berarti hati ane udah mati.”
“Kalau antum meniatkan pernikahan itu sebagai ibadah, maka antum gak akan masalah walau pun menikah bukan dengan Nita. Karena fokus ibadahnya bukan pada menikahi Nita, tapi pada menikahnya itu sendiri. Keikhlasan antum menikah karena Allah itu diuji saat antum gagal menikah dengan Nita. Kalau antum ikhlas, maka antum gak akan kecewa karena masih banyak kesempatan. Tapi kalau antum kecewa berat, maka niat antum adalah cuma mau menyenangkan diri dengan menikah dengan Nita, bukan sebagai penghambaan kepada Allah. Begitu Hep.”
Mereka berdua diam. Hepi termenung seperti mencerna kata-kata Awal.
“Memang berat bicara niat kalau sudah terlanjur punya pilihan.” UjarHepi.
“Ana gak mempermasalahkan ente punya pilihan. Tapi jangan sampai pilihan itu menutupi niat karena Allah. Ah… susah kalau bicara niat. Terlalu filosofis jadinya.”
“Iya Wal.. iya…”
“Mudah-mudahan ente gak kecewa, Hep.” Awal tertawa.
“Lho, kenapa Wal? Ente yakin Bang Imran akan menolak permintaan ana? Jangan-jangan ente cuma menggertak, karena ente juga ngincer Nita kan?”
“Bukan. Ya… ada lah… liat aja nanti.” Awal menyembunyikan sesuatu.
Saat matahari makin terperosok ke ufuk barat dan mendekati waktu maghrib, kedua sahabat itu beranjak ke kampusnya. Ada jadwal kajian pekanan malam itu di Masjid Kampus. Dan Hepi sudah bertekad bulat menyampaikan keinginannya ta’aruf dengan Nita kepada Bang Imran.
*****
Kajian pekanan malam itu sudah mulai berakhir saat Imran memimpin doa penutup majelis. Sembari mencicipi makanan yang terhidang di tengah lingkaran, delapan orang peserta kajian bercakap-cakap. Hepi semakin berdebar jantungnya menanti saat yang tepat untuk meminta kepada Bang Imran untuk berbicara empat mata.
“Ikhwan fillah, ada yang mau ana sampaikan.” Ujar Imran menyela percakapan mereka.
“Apa Bang?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Yah, ana punya ini…” Imran mengeluarkan beberapa buah undangan yang terbungkus rapi dengan plastik. Dibagikan undangan itu kemasing-masing anak. Mereka membuka undangan itu tak sabar. Termasuk Hepi. Sebuah undangan pernikahan.
“Afwan Hep. Untuk masalah nikah, ana menang dari antum ya… Ana menikah duluan. Diizinin ya Hep?” Imran tertawa menggoda.
“Insya Allah, bang. Barakallah.” Jawab Hepi. Berbisik dalam hati, Hepi berkata, “Kalahnya gak telak kok Bang. Ana juga bentar lagi bakal nikah dengan…. Nita.”
Belum sempat Hepi membuka undangan dan melihat dengan siapa Imran menikah, suara gemuruh di masjid yang sepi itu bergema dari anak-anak pengajian.
“Dengan siapa?” Hepi membatin dan makin penasaran. Dan saat ia membaca naskah undangan itu, terasa sesak di hatinya saat melihat nama Renita Kusuma terpampang di undangan itu. “Nita...” Ujarnya membisik.
Sebuah tepukan mendarat di pundak Hepi. “Ana udah tau duluan Hep. Mudah-mudahan kata-kata ana tadi sore bisa menguatkan antum.” Suara milik Awal.
Hati Hepi tak karuan. Gemuruh… dan mendung…
sumber : Islamedia
Amazing Meeting
Diposting oleh
Anonymous
on Selasa, 12 Maret 2013
/
Hari ini tanggal merah dan saya memutuskan untuk tetap beraktivitas, bismillaah, lillaah. Alhamdulillaah hari ini saya dimasukkan ke dalam tim 1 Cave Trainer Academy 2 bersama sang coach Pak Agoeng. Kami memulai janji untuk meeting hari ini jam 13.00 bertempat di markas WAMY Indonesia, di Jln Moh. Kahfi II. Yang belum tahu WAMY, Bisa kenalan di web WAMY. Saya belum bisa kasih link WAMY Indonesia, karena sepertinya webnya masih underconstruction. Subhanallaah, there're many plannings that we planned there. We described our vision together. Make a dream come true soon. What an amazing day with amazing people!
Meeting perdana ini dihadiri hanya 5 orang, dari 10 orang yang tertulis sebagai tim, saya, Lina, Ka Imam, dan Ka Amin, serta Pak Agoeng sebagai pembina kami. Walau hanya ber-5, kami tidak ragu membuat berbagai program yang amazing, mimpi berjalan-jalan ke luar negeri bersama, haha. Mimpi boleh lah ya, Bismillaah. Semoga Allah segera bisa realisasikan visi-visi kami. Fillaah.. Semua akan mudah, insya Allah.. ^^
Ini dia saya iseng-iseng, i took a picture in our meeting room.. Walaupun saya bukan pekerja kantoran, tapi tetap bisa produktif dengan suasana ruang meeting yang nyaman seperti ini.. Dan saya boleh dengan bebas menggunakan ruang meeting ini bersama tim saya.. This is it...
Istirahat Sholat Ashar, Saya iseng foto-foto ruangan buat dokumentasi di blog :D |
Sedang Membuat Komitmen Keseriusan |
Rezeki Datang Dari Arah yang Tidak Disangka-sangka
Diposting oleh
Anonymous
on Kamis, 07 Maret 2013
/
Selagi di depan netbook sedari tadi pagi, browsing-browsing sesuatu. Tiba-tiba telepon genggam berdering...
"Wahh dari Pak Iwan...", dalam hati. Langsung saya angkat teleponnya.
"Assalaamu'alaikum, Rul. Gimana udah siap nikah?"
"Siapa pak? Kalau kakak saya kan udah pak, hehe."
"Jiah, haha.. ok ok gini saya serius nih."
(saya mulai deg-degan sambil mendengarkan)
"Jadi gini Rul, saya rekomendasikan Nurul untuk dapet bantuan beasiswa dari WAMY. Sejenis kafalah lah, kan Nurul aktif di NICE. Rangga, Rizki, sama tim NICE yang lain juga dapet kafalah dari WAMY."
"Oh gitu pak..."
"Iya walaupun turunnya 2 bulan atau 3 bulan sekali tapi lumayanlah nominalnya.. Jadi nanti sore bisa ke WAMY? Nanti di wawancara dulu sama orang sananya. Bawa CV sama foto, ya softcopy aja."
"Yahh sore ya, Pak? Jam berapa, Pak?" (mulai panik, karena jam 15.30 saya ada janji sama teman di bimbel mau ke Islamic Book Fair)
"Yaa sekitar jam setengah 3 lah.. Gimana bisa?"
"Yaudah insya Allah deh pak. Cuma bawa CV sama foto aja kan ya? Tapi nanti Bapak ada di sana kan pak? yang lain ada siapa lagi pak?"
"Iya saya mah sampe sore ada rapat di sana. Nanti ada ustadz Hafidz, Lina, Fitri, sama yang lain."
"Sip deh pak."
"Ok rul ditunggu ya..."
"Iya pak.."
"assalaamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalaam"
Terputuslah teleponnya... Aaaaa Allahku, baik sekali..
"Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS Ar Rahman : 13)
Subhanallah walhamdulillaah. Ketika sewaktu kuliah merasakan betapa sulitnya mengajukan beasiswa, saat-saat pusing mengumpulkan berkas-berkas persyaratan untuk mengajukan beasiswa (karena kampus saya kampus swasta, jadi agak sulit ada kesempatan beasiswa, peluangnya sangat kecil) dan dengan ikhtiar yang cukup maksimal ternyata Allah belum memperkenankan saya untuk mendapatkan beasiswa di kampus.
Namun, sekarang ah... Subhanallaah begitu mudahnya tanpa ikhtiar apapun semuanya datang dengan sendirinya. Lagi-lagi, "Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?"
Begitu mudah bagi Allah memberikan rezekinya dari arah yang tidak pernah disangka-sangka.
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS Ar Rahman : 13)
Khitbah (meminang)
Diposting oleh
Anonymous
on Senin, 04 Maret 2013
/
"Jadi gini..."
"Iyo apo."
"Semalam ketika Nurul bilang tentang jodoh, terus kakak tanya sudah ada yang khitbah atau belum kan. Agak serius lagi, karena ada yang minta cari info. Kalau belum ada, mungkin dia pengen mencoba."
"Siapa kak? Temen kakak?"
"Kakak jawab kalau jawabannya 'belum ada'. Tapi kalau sudah ada, nanti tanya dulu ke dia. Boleh sebut nama gak?"
"Maksudnya?"
"Ia, kan Nurul tanya siapa."
"hoo"
"Kalau memang belum di khitbah, nanti kakak sebuti namanya. Tapi kalau sudah, berarti nanti tanya ke dia dulu."
"Kakak, ana belum siap nikah, gak usah sebut nama ya ka :)"
"Oh gitu, sip. Ok berarti jawabannya belum siap ya. Walaupun kakak gak tau apa alasannya, hehe."
"Iya ka, afwan ya ka."
"Siap."
"Ana kenal dia ka? Tuh kan jadi kepo."
"Ntar kakak suruh dia tunggu sampai Nurul siap, hehe. Iya, kayaknya kenal."
"Jiahh. Nah loh ana kenal yak,hemm"
Oke pembicaraannya saya cut sampai sini. Awalnya saya hanya bertanya masalah video dan instrument yang lupa saya minta ke beliau, biasa untuk persiapan mengisi training di sebuah SMU ternama di bagian Timur, Jakarta. Eh, tetiba beliau menanyakan hal-hal yang sangat tidak saya duga, Masya Allah. Ternyata baru ditanya saja rasanya sudah dag dig dug, walau yang dimaksud belum tahu siapa orangnya. :)
Khitbah (meminang/melamar)? Apasih makna khitbah menurut teman-teman? Khitbah itu ibarat pengikat sebelum ijab terucap. Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah
ia meminang atau melamar terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang/dilamar oleh
orang lain. Ini berdasar pada perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang
yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang
seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang
meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim
meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Tuh kan makanya beliau sebelum melanjutkan ke tahap yang lebih serius, beliau tabayyun dulu ke saya, saya sudah ada "ikatan" dengan orang lain atau belum. Ini penting lho, jangan disepelekan. Jangan sampai, ketika kita ingin menta'arufkan orang lain, kita tidak tahu sebenarnya dia dalam kondisi "sudah diikat" dengan tali yang namanya khitbah atau belum.
Entahlah ini jadi hari penuh dengan tanda tanya. "Lho kenapa tahu-tahu arahnya ke sana?" "Ini tanda sudah semakin menua ya, jadi sudah bisa mengarah ke pembicaraan "khitbah-mengkhitbah"?". Saya baru sadar ternyata memang posisi saya sudah mulai mengarah ke sana ya, faktor umur. :D
Siapa orang itu yak? Jadi penasaran juga. Ah Nurul sudahlah tidak perlu banyak tanda tanya. Tidak perlu risau akan suatu hal yang belum pasti. Ente kepo banget, Rul! Hehe.
Ini masalah pendewasaan sikap, seriuslah ketika ada seseorang yang sedang berbicara mengenai hal yang serius. Siap menempatkan sikap mana waktunya becanda dan mana waktunya untuk serius. Tingkat kesiapan saya sedang diuji olehNYA? Dan ternyata saya belum siap. :)
Mudah-mudahan semakin hari semakin bisa menyiapkan diri. Persiapan bekal saja dulu, fokus perbaiki diri, fokus maksimalkan amanah saat ini, fokus membahagiakan orang tua, dan fokus yang lain-lainnya. Nah, jadi fokus untuk siap nikahnya kapan, Rul? (ngomong sama kaca). Tetapi, target itu harus ada lho. Teruntuk para akhwat (wanita), kita harus punya target, kapan sih kita mau nikah? Nah dari target itu kita sudah mulai menyicil-nyicil kesiapan kita. Agar ketika sudah di depan target, kondisi kita telah "siap" Ahh lagi-lagi, siap itu relatif, bergantung kondisi. Apalagi membicarakan hal yang sangat sensitif, yaitu "Khtibah dan menikah".
04 Maret 2013 - 12.44 am
@ kamar